Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1 (KMB1)
disusun
oleh
KELOMPOK
11
FELINA
TUTI IRAWATI (1602062)
FITRI
HASTUTI (1602063)
HENNY
LIA MONALISA (1602064)
INDAH
CAHYANI (1602065)
II
B D3 KEPERAWATAN
STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN
2017/2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat
Allah.S.W.T yang telah memberikan segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Asuhan Keperawatan Pada Lupus Eritematosus Sistemik (LES) untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1 dengan waktu yang tepat.
Terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Marwanti .,S.Kep.Ns selaku dosen pengampu
Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1 yang telah membimbing kami dalam proses
penyusunan makalah ini dengan baik. Terimakasih kami ucapkan kepada teman-teman
yang telah memotivasi dan memberikan semangat serta kerjasama yang baik selama
ini. Semoga makalah yang kami susun ini bermanfaat bagi kalangan pembaca
terhadap pemberian asuhan keperawatan yang tepat pada penderita Lupus Eritematosus Sistemik sehingga
bisa menambah pengetahuan serta wawasan ilmu yang luas.
Kami
menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan kemungkinan masih terdapat
kekurangan ataupun kesalahan dalam penyusunan maupun ketepatan informasi. Maka kami menerima saran dan kritik secara terbuka dari
pembaca yang bersifat membangun guna memperbaiki penyusunan makalah di masa
mendatang.
Terimakasih.
Wassalamu’alaikum.Wr.Wb.
Klaten,
3 Oktober 2017
Tim Penyusun
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Systemic Erithematosus Lupus
(SEL) atau yang biasa dikenal dengan istilah Lupus adalah penyakit kronik atau
menahun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit
yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang
mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang
kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak
diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit
tersebut (Delafuente, 2002).
Penyakit LES merupakan salah satu
penyakit yang masih awam ditelinga masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti
tidak banyak orang yang terkena penyakit ini. Kementerian Kesehatan menyatakan
lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia terdiagnosis penyakit Lupus. Sebagian
besar penderitanya ialah perempuan di usia produktif yang ditemukan lebih dari
100.000 setiap tahun. Di Indonesia jumlah penderita penyakit Lupus secara tepat
belum diketahui tetapi diperkirakan mencapai jumlah 1,5 juta orang (Kementerian
Kesehatan, 2012).
SLE dapat menyerang semua usia,
namun sebagian besar pasien ditemukan pada perempuan usia produktif.
Sembilan dari sepuluh orang penderita lupus (odapus) adalah wanita dan
sebagian besar wanita yang mengidap SLE ini berusia 15-40 tahun. Namun, masih
belum diketahui secara pasti penyebab lebih banyaknya penyakit SLE yang menyerang
wanita.
SLE dikenal juga dengan penyakit
1000 wajah karena gejala awal penyakit ini tidak spesifik, sehingga pada
awalnya penyakit ini sangat sulit didiagnosa. Hal tersebut menyebabkan
penanganan terhadap penyakit lupus terlambat sehingga penyakit tersebut banyak
menelan korban. Penyakit ini dibagi menjadi tiga kategori yakni discoid lupus,
systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. Masing-masing
kategori tersebut memiliki gejala, tingkat keparahan serta pengobatan yang
berbeda-beda.
Penderita SLE membutuhkan
pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar, pengobatan yang diberikan
haruslah rasional. Perawatan pada pasien SLE juga harus diperhatikan, seperti
mengurangi paparan sinar UV terhadap tubuh pasien.
Oleh karena itu, perlu adanya
pemahaman mengenai penyakit systemik eritematosus lupus, pengertian
tentang systemic lupus eritematosus, etiologi dan faktor risiko, manifestasi
klinis, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan
penatalaksanaan (medis, keperawatan, diet) serta asuhan keperawatan bagi
penderita lupus.
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Lupus Eritematosus Systemik (LES)adalah suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai
oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang
berlainan. Antibodi-antibodi tersebut biasanya adalah IgG atau IgM dan dapat
bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau RNA, protein jenjang koagulasi,
kulit, sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Komplek antigen
antibodi dapat mengendap di jaringan kapiler sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas III, kemudian terjadi peradangan kronik (Elizabeth, 2009).
Systemic Eritematosus Lupus (SEL) atau lupus
eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai
organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai yang berat.
Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena manifestasinya
sering tidak terjadi bersamaan (Sylvia dan Lorraine, 1995).
Ada tiga bentuk lupus yang
dikenal, yaitu:
a. Lupus systemik
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah gangguan
autoimun kronis dimana tubuh menghasilkan antibodi melawan jaringannya sendiri.
Kompleks imun ini bersirkulasi di dalam darah dan merangsang reaksi inflamasi
di pembuluh darah kecil, jaringan penyambung, dan membran serosa seluruh tubuh,
sehingga menimbulkan berbagai gejala.
b. Lupus discoid
Yaitu penyakit lupus yang
menyerang kulit.
c. Lupus karena obat
Penyakit lupus yang muncul setelah penggunaan obat
tertentu, seperti hidralazin (Apresoline), metildopa (Aldomet), klorpromazin
(Thorazine), prokainamid (Pronestyl) (Barbara Engram, 1998).
B. Etiologi
Sampai saat ini penyebab LES
belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan
pada patofisiologi LES.
Kecenderungan terjadinya LES dapat berhubungan dengan
perubahan gen MHC spesifik dan bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan
dikenali. Wanita lebih cenderung mengalami LES dibandigkan pria, karena peran
hormon seks. LES dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan
atau menyusui.
Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang
berlebihan dapat mencetuskan penyakit. Penyakit ini biasanya mengenai wanita
muda selama masa subur. Penyakit ini dapat bersifat ringan selama
bertahun-tahun, atau dapat berkembang dan menyebabkan kematian (Elizabeth,
2009).
C. Faktor Risiko
1) Faktor risiko genetik
Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8
kali lebih sering daripada pria dewasa), umur (lebih sering pada usia 20-40
tahun), etnik, dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering dalam
keluarga di mana terdapat anggota dengan penyakit tersebut).
2) Faktor risiko hormon
Estrogen menambah risiko LES,
sedang androgen mengurangi risiko ini.
3) Sinar ultraviolet
Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga
terapi menjadi kurang efektif, sehingga LES kambuh atau bertambah berat. Ini
disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran di
pemuluh darah.
4) Imunitas
Pada pasien LES terdapat
hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.
5) Obat
Obat tertentu dalam presentasi kecil sekali pada
pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus
obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan
lupus obat adalah:
a) Obat yang pasti menyebabkan lupus obat: klorpromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
b) Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat:
dilantin, peninsilamin, dan kuinidin.
c) Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis
antibiotik, dan griseofulvin
6) Infeksi
Pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan
kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi.
7) Stres
Stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini (Arif Mansjoer, 2000).
D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dari LES biasanya
dapat membingungkan, gejala yang paling sering adalah sebagai berikut:
a. Poliartralgia (nyeri sendi) dan artiritis (peradangan
sendi).
b. Demam akibat peradangan kronik
c. Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di
pipi dan hidung, kata Lupus berarti serigala dan mengacu kepada penampakan
topeng seperti serigala.
d. Lesi dan kebiruan di ujung kaki akibat buruknya aliran
darah dan hipoksia kronik
e. Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari
tangan
f. Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
g. Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung
h. Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan
ginjal dan hipertensi
i.
Anemia, kelelahan
kronik, infeksi berulang, dan perdarahan sering terjadi karena serangan
terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit (Elizabeth, 2009).
E. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat
terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang
berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau
obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi
autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal
sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus
tersebut berulang kembali.
F. Komplikasi SLE
Komplikasi yang dapat terjadi
pada penderita LES adalah sebagai berikut:
a. Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada
penderita LES. Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks
antibodi-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan yang
menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III
b. Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong
perikadium yang mengelilingi jantung)
c. Peradangan membran pleura yang mengelilngi paru dapat
membatasi perapasan. Sering terjadi bronkhitis.
d. Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum
dan perifer.
e. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan
kejang. Perubahan kepribadian, termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi.
Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya
(Elizabeth, 2009).
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang di
lakukan terhadap pasien LES meliputi:
a. ANA (anti nucler antibody). Tes ANA memiliki
sensitivitas yang tinggi namun spesifisitas yang rendah.
b. Anti dsDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik
untuk LES, biasanya titernya akan meningkat sebelum LES kambuh.
c. Antibodi anti-S (Smith). Antibodi spesifik terdapat
pada 20-30% pasien.
d. Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti SS-A,
antikoagulan lupus)/anti-SSB, dan antibodi antikardiolipin. Titernya tidak
terkait dengan kambuhnya LES.
e. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
f. Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada
artritis reumatoid, sindrom sjogren, skleroderna, obat, dan bahan-bahan kimia
lain.
g. Anti ssDNA (single stranded)
h. Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita
nefritis (Arif Mansjoer, 2000).
H. Penatalaksanaan SLE
1. Penatalaksanaan medis
Terapi dengan obat bagi penderita
SLE mencakup pemberian obat-obat:
1) Antiradang nonstreroid (AINS)
AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia.
Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik
tertinggi, dan sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati.
Penderita LES juga memiliki risiko tinggi terhadap efek samping obat-obatan
AINS pada kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian harus dipantau secara
seksama.
2) Kortikosteroid
3) Antimalaria
Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif
apabila AINS tidak dapat mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria
mula-mula diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi.
Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau pemakaian dosis.
4) Imunosupresif
Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau
azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun LES. Obat-obatan
ini biasanya dipakai ketika:
a. Diagnosis pasti sudah ditegakkan
b. Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa
c. Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya,
misalnya bila pemberian steroid tidak memberikan respon atau bila dosis steroid
harus diturunkan karena adanya efek samping
d. Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia
dan Lorraine, 1995).
2. Penatalaksanaan keperawatan
Perawat menemukan pasien SLE pada
berbagai area klinik karena sifat penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area
praktik keperawatan reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik, dan
neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan
keperawatan yang utama.
1) Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan
menggunakan instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi
(Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian kesehatan (Fries et al,
1980). Hal ini member indikasi yang berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan
gejala.
2) Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka
panjang. Pasien yang menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitas
penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advice tentang
keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan, dan
mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan, nyeri,
ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam membantu pasien
mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik.
3) Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi
pasien SLE. Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah
pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien,
keluarga, dan pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang
lebih baik terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan regimen bagi mereka (Anisa
Tri U., 2012).
3. Penatalaksanaan diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan.
Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang
diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah
garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat
tradisional.
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah
raga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal.
Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan
kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa
harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof
sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya
lesi kulit pada pasien SLE.
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
Anamnesis riwayat kesehatan
sekarang dan pemeriksaan fisik di fokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang
pernah di alami. Seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam /
panas, anoreksia efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri
pasien.
a. Kulit
Ruam eritematous, plak
eritematouspada kulit kepala, muka atau leher.
b. Kardiovaskuler
Friction rup perikardium yang menyertai miokarditis
dan efusi pleura, lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
c. Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan
ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
d. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri tas ruam yang
berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung dan pipi.
e. Sistem pernapasan
Pleuritis atau efusipleura.
f. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan
lesi papuler, eritomatous dan parpura di ujuna jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosit.
g. Sistem renal
Edema dan hematuria.
h. Sistem syaraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan
kejang-kejang, korea atau manifestasi SPP lainnya.
Riwayat atau adanya faktor
risiko. Meskipun LES bukan herediter, insiden kadang-kadang lebih tinggi
diantara individu dengan riwayat keluarga positif.
Pemeriksaan fisik berdasarkan pada survei umum dapat
menunjukkan keterlibatan multisystem, karena SLE adalah penyakit inflamasi dari
jaringan penyambung yang mempengaruhi kulit, sendi membran pleural dan
pericardial, ginjal, sumsum tulang, dan sistem saraf pusat. Asosiasi Reumatisme
Amerika telah mengidentifikasi karakteristik fisik yang berbeda dan temuan
labolatorium dari SLE. Diagnosis dari SLE dibuat dengan empat temuan berikut
secara bersama-sama (Whitney, 1989):
a. Ruam malar – berbentuk kupu-kupu melintang di hidung
dan pipi, mungkin unilateral atau bilateral
b. Pleuritis atau perikarditis
c. Paliartritis – sendi nyeri terinnflamasi yang migrasi
dan jarang mengakibatkan deformitas sendi
d. Fotosensitif – terjadi ruam bila terpajan pada sinar
matahari secara terus menerus
e. Ruam discoid – bercak, merah, ruam kering pada area
yang terpajan pada matahari
f. Perubahan sistem saraf pusat seperti kejang atau
psikosis
g. Ulserasi membran mukosa (mulut, hidung, dan vagina)
h. Abnormalitas hematologis (anemia, trombositopenia,
leukopenia)
i.
Peningkatan antibodi
antinuklear (ANA)
j.
Proteinuria, serpihan
seluler, atau pus tanpa bakteriuria ditunjukkan oleh urinalis
Gejala tambahan meliputi:
a. Pembesaran limpa dan hepar
b. Penurunan berat badan, demam, kelelahan
c. Fenomena Raynaud’s (perubahan warna pucat, sianosis,
kemerahan pada jari disertai dengan nyeri dan parestesia)
Kaji terhadap faktor yang
mencetuskan eksaserbasi:
a. Kelelahan berlebihan
b. Pemajanan lama pada sinar ultraviolet (sinar matahari
langsung)
c. Pembedahan
Obat tertentu seperti penisilin, sulfonamid, dan
kontrasepsi oral. Dan selanjutnya kaji perasaan pasien tentang kondisi dan
dampak gaya hidup (Barbara Engram, 1998).
Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Muskuloskeletal : Terjadi pembengkakan,
keterbatasan gerak, kemerahan dan nyeri tekan pada sendi.
b. Sistem Integumen : Ulserasi membran mukosa, ekimosis,
ptekye, purpura, infadenopati difus
c. Sistem Pencernaan : Nyeri tekan abdomen,
hepatosplenomegali, peristaltic usus meningkat, kelenjar parotis membesar
d. Sistem Pernafasan : Takipneu, perkusi suara redup,
efusi pleura dan ronchi.
e. Sistem Kardiovaskuler : Takikardi, aritmia
f. Sistem Persyarafan : Konvulsi, neuropati perifer,
paraplegi, hemiplegi, afasia, halusinasi, delusi, disorientasi
g. Sistem Penglihatan : Konjungtivitis, edema
periorbital, uveitis, perdarahan subkonjungtiva
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan
bagi penderita LES adalah sebagai berikut:
a. Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau
kerusakan jaringan.
b. Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
proses penyakit dan lesi
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan komplikasi
sekunder terhadap SLE
C. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan dan rasional tindakan yang
dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau
kerusakan jaringan
Tujuan:
·
Meringankan nyeri,
dapat beristirahat dan mendapat pola tidur yang adekuat
NO
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1
|
Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka
bakar metode pemajanan pada udara terbuka.
|
1. suhu berubah dan gerakan udara dapat
menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf. pengaturan suhu dapat
hilang karena luka bakar mayor.
|
2
|
Pertahankan suhu
lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh hangat.
|
Sumber panas eksternal perlu untuk mencegah
menggigil.
|
3
|
Kaji keluhan nyeri.
Perhatikan lokasi/karakter dan intensitas (skala 0-10).
|
nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat
beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan tetapi biasanya paling berat selama
penggantian balutan dan debridemen.
|
4
|
Lakukan penggantian
balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat dan/atau pada hidroterapi
|
menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi
sehubungan dengan penggantian balutan dan debridemen.
|
5
|
Dorong ekspresi
perasaan tentang nyeri.
|
pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat
meningkatkan mekanisme koping.
|
6
|
Dorong penggunaan
teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas dalam, bimbingan
imajinasi dan visualisasi.
|
memfokuskan
kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control, yang
dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.
|
7
|
Berikan aktivitas
terapeutik tepat untuk usia/kondisi
|
membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami
dan memfokuskan kembali perhatian.
|
2. Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
proses penyakit dan lesi
Tujuan:
·
Dapat menunjukkan
perilaku/teknik untuk meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi
NO
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1
|
Kaji kulit setiap
hari. Catat warna, turgor, sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati
perubahan
|
Menentukan garis
dasar menentukan dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan
melakukan intervensi yang tepat.
|
2
|
Pertahankan/intruksikan
dalam hygien, misalnya, membasuh dan kemudian mengeringkannya dengan
berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim.
|
Mempertahankan
kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.
|
3
|
Gunting kuku secara
teratur
|
Kuku yang panjang
dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
|
4
|
Tutupi luka tekan
yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, misalny,
duoderm, sesuai petunjuk.
|
Dapat mengurangi
kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan
|
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan komplikasi
sekunder terhadap LES
Tujuan:
·
Peningkatan toleransi
terhadap aktivitas
NO
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1
|
Evaluasi rutinitas
harian pasien. Bantu perencanaan jadwal setiap hari untuk aktivitas yang
meliputi periode istirahat sering
|
Istirahat membantu
menyeimbangkan energi tubuh. Keseimbangan aktivitas fisik pada istirahat
membantu mengontrol kelelahan dan peningkatan ketahanan.
|
2
|
Anjurkan pasien
untuk menggunakan obat yang diresepkan untuk anemia dan dan menyimpan
|
Memungkinkan periode
tambahan istirahat tanpagangguan
|
3
|
Tingkatkan
aktivitas sesuai toleransi, bantu melakukan rentang rentang gerak sendi
aktif/pasif
|
Tirah baring lama
dapat menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas
yang mengganggu periode istirahat
|
4
|
Dorong penggunaan
teknik menejemen stres, contoh relaksasi progresif, visualisasi, bimbingan
imajinasi. Berikan aktivitas hiburan yang tepat contoh menonton TV, radio,
dan membaca.
|
Meningkatkan relaksasi
dan penghematan energi, memusatkan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan
koping.
|
DAFTAR PUSTAKA
Smelzer,Sutame C,& Bienda G.Bare:Alih
Bahasa,Agung Waluyo(eral);editor edisi Bahasa Indonesia,Monica Ester,Ed.8.2008.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta;EGC
Hurst, Marlene;alih bahasa, Devi Yulianti, Sari
Isneini;editor edisi Bahasa Indonesia; Fruriolina Ariani(etal).2015.Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah.Vol
2.Jakarta:EGC
Brunner Suddarth: alih bahasa.Devi Yulianti, Amelia
Kimin;editor edisi bahasa indonesia,Eka Anisa Mardella.Ed12.2013. Keperawatan Medikal Bedah Brunnere Suddarth
Ed.12.Jakarta:EGC
Soedarto.2012.Alergi
dan Penyakit Sistem Imun.Jakarta:CV. Sagung Seto.
Mary Digiulio,dkk:alih bahsa Dwi Prabantini;editor
TH Arie Prabawati dan meidyna.2014. Keperawatan
Medikal Bedah.Yogyakarta:Rapha Publishing
Nopa Septia Anggraini. 2016. Lupus Eritematosus
Sistemik. Lampung : Fakultas Kedokteran
Universitas klampung. Vol. 4, No. 4 : 124-131
Evi Roviati. 2013. Systemic lupus Erythematosus
(SLE) : Kelainan Authoimun Bawaan yang
langka dan Mekanisme Molekulnya (Review terhadap Jurnal Systemic lupus
Erythematosus, Oleh Rahman Isenberg,
2008. NEJM). Jakarta : Jurnal Scientiae Educatia. Vol. 2 Edisi : 20-32.
Komentar
Posting Komentar